Shamuel adalah pangeran Caucasia (daerah sebelah utara Iran) yang hidup kurang lebih 200 tahun yang lalu. Negerinya terus-menerus berperang melawan bangsa Turki. Dalam suatu peperangan angkatan bersenjatanya mengepung sebuah kota musuh. Seperti biasa, dalam kampanye, ibunya menyertainya. Pada suatu hari ia merencanakan serbuan kilat malam yang tidak terduga pada kota yang dikepung. Sayang, ia dikhianati. Serbuan rahasia diketahui musuh. Musuh bersiap-siaga dan akibatnya bala tentara Pangeran Shamuel kalah.
Dengan kemarahan yang meletus Pangeran Shamuel mengumumkan bahwa, jikalau diketahui atau ditangkap, si pengkhianat akan dicambuk 100 kali. Kemudian dalam kerahasiaan yang luar biasa serbuan malam yang tidak mungkin terduga musuh, sekali lagi direncanakan. Meskipun begitu akibatnya sama. Kali ini pengkhianat diketahui, yaitu ibu kandung Pangeran Shamuel.
Sudah jelas jika Shamuel menghindari menghukum ibunya ia akan dicap sebagai pemimpin yang tidak adil. Tetapi jikalau ibunya dicambuki hingga 100 kali, ibunya pasti akan mati. Apalagi umatnya akan mencemoohkannya sebagai orang yang tidak memiliki belas-kasihan, bahkan terhadap ibunya sendiri!
Sesudah menyendiri selama tiga hari dalam kemahnya, Pangeran terkenal ini keluar menghadapi umatnya. Para tentaranya berkumpul menunggu keputusannya. Dengan sikap serius Shamuel menjelaskan, “Kita telah kalah dalam dua kali peperangan. Karena pengkhianatan ini banyak tentara kita gugur. Tiada pengecualian dan tiada pengampunan. Hukuman harus dijalankan sesuai dengan keputusan awal – 100 kali cambukan buat pengkhianat!! Kebenaran dan keadilan kerajaan saya harus ditetapkan dan dikukuhkan!”
Kasih Yang Rela Menderita “Menanggung seorang pengkhianat”
Ibunya, yang pucat dan takut gemetar, dipimpin ke tempat di hadapan rakyat. Serdadu yang ditugaskan mulai mengangkat cemetinya – tetapi sebelum cambukan pertama jatuh, Pangeran Shamuel berteriak, “Tunggulah – inilah ibuku!
Sayalah anak kandungnya! Saya, sebagai penggantinya, akan menerima hukumannya. Dengan membuka bajunya ia melangkah ke hadapan rakyat selagi memerintah serdadu tersebut, “Saya jangan dicambuk lebih ringan daripada yang pantas bagi pengkhianat.” Jalankanlah tugasmu – cambukilah saya!”
Cambukan demi cambukan jatuh pada Pangeran Shamuel. Ia jatuh pingsan. Dan walaupun disangka semua saksi bahwa ia pasti akan mati, ia siuman dan akhirnya sehat kembali sehingga terus hidup untuk memimpin bangsanya.
Kasih Isa Al-Masih Bagi Semua Manusia Berdosa
Kisah seperti ini, lebih daripada semua kisah lain dalam sejarah dunia, menggambarkan pengorbanan Isa Al-Masih. Kalimah Allah datang ke dalam dunia dalam tubuh manusia. Ia harus menjalankan hukuman yang adil terhadap dosa karena pengkhianatan manusia terhadap Allah. Akibat kasihNya yang sempurna untuk kita maka Ia rela mati ganti kita. Ia mengalami penderitaan salib karena dosa kita. Ia tidak hanya menderita sengsara jasmani karena kita, tetapi Ia juga menerima atau menanggung keaiban, penghinaan dan kebusukan dosa kita sewaktu menderita pada kayu salib. Inilah bukti sesungguhnya dari Allah, kasih yang rela menderita hanya untuk ciptaaan-Nya yang mulia.
“Ia sendiri telah memikul dosa kita di dalam tubuhNya di kayu salib, supaya kita, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran . . .” (Injil, I Petrus 2:24).
Apabila Anda memiliki tanggapan atau pertanyaan atas artikel “Kasih yang Rela Menderita”, silakan menghubungi kami dengan cara klik link ini. atau SMS ke: 0812-8100-0718
Gandhi Waluyan mengatakan
~
Yang membuat saya tidak habis pikir itu mengapa manusia yang berdosa, tapi mengapa Tuhan yang disiksa?
Staff Isa dan Al-Quran mengatakan
~
Saudara Gandhi,
Sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, maka semua manusia di dunia ini sudah tercemar oleh dosa. Hubungan antara manusia dengan Allah terputus, manusia diikat kuasa dosa, dan siap-siap menghadapi hukuman Allah di neraka.
Karena begitu besar kasih Allah kepada manusia, maka Allah mengirimkan Isa Al-Masih untuk menderita dan mati di atas kayu salib menggantikan kita, sehingga kita yang seharusnya menjalankan hukuman itu, saat ini tidak lagi. “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (Injil, Surat 2 Korintus 5:21).
~
Slamet